• Kantor Pusat
  • Phone +62 21 3142981
  • Tanah Abang- Jakarta
  • Newyork Office
  • London Office
  • Tokyo Office
  • Phone +012 345 6789
  • Cargo Hub, NY 10012, USA
  • Phone +099 222 1111
  • Cargo Hub, LD 32614, UK
  • Phone +098 765 4321
  • Cargo Hub, Tokyo 32614, Japan
16 Mar

Optimasi Biaya Persediaan dalam Industri Manufaktur – Supply Chain Indonesia


Oleh: Ian Gibranata
Senior Consultant | Supply Chain Indonesia

Dalam industri manufaktur, persediaan merupakan komponen dalam supply chain perusahaan yang mengeluarkan biaya terbesar. Umumnya ada tujuh klasifikasi biaya yang berkaitan dengan persediaan, yaitu biaya pembelian komponen, biaya setup produksi, biaya administrasi pengadaan komponen, biaya penyimpanan persediaan, biaya stockout, biaya kualitas, dan shrinkage.

Biaya pembelian komponen merupakan biaya variabel yang dikeluarkan perusahaan untuk membeli komponen-komponen yang diperlukan untuk produksi, termasuk bahan baku produk utama, bahan pembantu proses produksi habis pakai, bahan spare part mesin produksi, maupun bahan kebutuhan administrasi penunjang produksi. Biasanya dalam beberapa perusahaan, biaya pajak PPn dan PPh, serta biaya freight juga dimasukkan kedalam klasifikasi biaya pembelian komponen.

Kemudian biaya yang termasuk dalam biaya tetap adalah biaya administrasi pengadaan komponen dan biaya penyimpanan persediaan. Biaya administrasi pengadaan komponen merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk menunjang pembelian komponen yang diperlukan oleh operasional produksi, termasuk kegiatan utama divisi purchasing, kegiatan penerimaan barang dari supplier, serta kegiatan inspeksi barang oleh incoming QC. Biaya penyimpanan persediaan merupakan biaya yang timbul dari kegiatan penyimpanan persediaan setelah lolos dari inspeksi sampai persediaan dijual ke customer, termasuk penyewaan area gudang, kegiataan utama divisi warehouse, asuransi, serta kegiatan inspeksi ulang komponen/produk setelah beberapa lama disimpan.

Selanjutnya biaya yang termasuk dalam biaya variabel adalah biaya stockout, biaya kualitas, dan shrinkage. Biaya stockout terjadi karena perusahaan mengalami ketiadaan persediaan untuk memenuhi permintaan customer, sehingga perusahaan perlu melakukan order khusus agar supplier bisa segera mengirimkan barangnya atau produksi dengan menggunakan pihak ketiga dan umumnya harga order ini akan lebih mahal. Berbeda dengan kegiatan inspeksi ulang yang ada dalam biaya penyimpanan persediaan, biaya kualitas terjadi ketika karakteristik produk tidak sesuai dengan harapan customer sehingga perusahaan perlu melakukan inspeksi tambahan (biasanya diluar jam operasional kerja QC) sebagai tindakan preventif untuk menjaga kualitas. Terakhir, shrinkage merupakan biaya yang timbul karena adanya perbedaan nilai persediaan dalam sistem ERP dibandingkan dengan nilai persediaan riil saat stock opname dalam gudang. Biasanya perbedaan tersebut muncul karena adanya kerusakan produk, kesalahaan admin dalam memasukkan data, atau pencurian produk.

Setelah memahami biaya-biaya yang timbul karena adanya persediaan, umumnya perusahaan akan menentukan persediaan tersebut disimpan dalam bentuk bahan baku, barang setengah jadi (WIP), atau barang jadi. Berdasarkan beberapa pertanyaan yang pernah saya ajukan ke beberapa manajemen perusahaan, bentuk persediaan bahan baku lebih banyak dipilih karena secara hitungan cepat biaya penyimpanan persediaan bahan baku lebih murah dibandingkan dengan bentuk persediaan yang lainnya. Biasanya hal yang menjadi pertimbangan perhitungan biaya persediaan tersebut adalah biaya variabel setup produksi. Dimana jika perusahaan menyimpan WIP atau barang jadi, biaya produksi untuk memproses bahan baku ke barang jadi sudah terealisasi.

Namun dalam era globalisasi yang serba cepat dan munculnya banyak kompetitor, pihak manajemen perusahaan perlu meninjau dan mempertimbangkan aspek supply chain dalam menentukan bentuk persediaan yang akan disimpan. Perusahaan tidak boleh hanya memandang biaya setup produksi saja dalam menentukan bentuk persediaannya. Namun perusahaan perlu mempertimbangkan sisi permintaan produk dari customernya, sehingga biaya stockout dapat dihitung juga. Hal ini dikarenakan biaya stockout juga dapat menggerus keuntungan produk yang dijual perusahaan. Untuk itu, perusahaan harus meninjau akurasi forecast yang dibuat oleh tim marketing karena akurasi forecast ini akan menjadi sebuah persyaratan untuk mengoptimalkan biaya stockout persediaan. Semakin tinggi akurasi forecast maka akan semakin sedikit biaya yang dikeluarkan perusahaan.

Untuk membantu perusahaan dalam menentukan bentuk persediaan yang harus disimpan agar biaya persediaan yang dikeluarkan menjadi lebih optimal, saya mencoba untuk membuat rumusan untuk menentukan berapa banyak persediaan yang harus disimpan perusahaan dalam bentuk bahan baku, ½ jadi (WIP), dan barang jadi. Dengan mempertimbangkan biaya setup produksi dan biaya stockout sebagai koefesien serta bentuk bahan baku, ½ jadi (WIP), dan barang jadi sebagai variabel, persamaan linier programming (LP) diimplementasikan untuk mendapatkan nilai yang minimum sehingga penentuan bentuk persediaan menjadi lebih optimum. Biaya persediaan akan menjadi fungsi tujuan dalam LP, dimana persamaan dasarnya adalah Z = (biaya setup produksi + biaya stockout) x (kuantitas bentuk persediaan). Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana implementasi persamaan LP ini kedalam praktek penentuan bentuk persediaan dalam industri akan diberikan contoh kasus pendekatan persamaan LP. Berikut ini merupakan contoh nilai koefesien dalam biaya persediaan:

Tabel Asumsi Nilai Biaya untuk Variabel Persediaan

Dalam tabel asumsi nilai biaya koefesien untuk variabel bentuk persediaan diatas, nilai koefesien bahan baku adalah 0.8; barang ½ jadi adalah 0.7; dan barang jadi adalah 1. Hal ini dikarenakan untuk bahan baku hanya ada biaya stockout (dari biaya pemesanan khusus ke supplier dan biaya tambahan produksi karena butuh kapasitas tambahan). Sedangkan untuk barang ½ jadi ada biaya setup produksi yang nilainya masih 0.5 (karena dalam case ini WIP yang diproduksi, benar-benar berada ditengah proses dari total proses barang jadinya) dan juga biaya stockout sekitar 0.2 (karena adanya kebutuhan pemenuhan kapasitas tambahan untuk proses sisanya). Sementara itu, untuk barang jadi hanya ada biaya setup produksi yang nilainya 0.95 (karena semua proses produksi telah dilakukan seluruhnya hingga menjadi barang jadi). Sebagai catatan, nilai koefesien yang tentukan untuk setiap perusahaan bisa berbeda-beda berdasarkan kondisi dan proses masing-masing perusahaan.

Setelah mendapatkan asumsi koefesien tersebut, maka persamaan fungsi untuk nilai persediaan menjadi Z = 0.8 X1 + 0.7 X2 + 0.95 X3. Dalam kasus tersebut jika persamaan Z dijalankan dalam program (untuk diminimalkan biaya persediaannya) maka nilai X2 akan menghasilkan kuantitas yang paling tinggi. Atau dengan kata lain, pihak manajemen perlu menyimpan persediaan dalam bentuk barang ½ jadi (WIP) untuk mendapatkan biaya persediaan yang paling minimum.

Jadi dengan membuat persamaan LP untuk menentukan bentuk persediaan, maka perusahaan sudah mempertimbangkan sisi permintaan dari customer. Namun pada praktiknya, perusahaan perlu membuat beberapa persamaan untuk cluster tipe yang memiliki tipikal biaya persediaan yang mirip agar penentuan bentuk persediaan produknya bisa lebih akurat. Selain itu, manajemen juga perlu memastikan tim marketing memiliki akurasi forecast permintaan yang tinggi (minimal 85%) agar persamaan LP yang dibuat dapat lebih valid.

14 Maret 2024

*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.

Download artikel ini:

  SCI – Artikel Optimasi Biaya Persediaan dalam Industri Manufaktur (124.0 KiB, 15 hits)

Komentar

comments